Oleh: Amrizarois Ismail, S. Pd., M. Ling Dosen Prodi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan UNIKA Soegijapranata Semarang, Pegiat Griya Riset Indonesia. |
Terhitung telah lebih dari dua
tahun Pandemi Covid 19 mewabah di seluruh penjuru Dunia. Bukan hanya Indonesia,
bahkan hampir seluruh negara-negara di seluruh dunia menerima dampak yang
ditimbulkan Pandemi Covid-19, mulai dari dampak kesehatan, sosial budaya,
pendidikan, dan tentunya dampak ekonomi dan berbagai sektor turunanya. Kini,
setelah pada akhir 2021 vaksinasi dari
tahap pertama hingga booster atau tahap ke tiga diberikan, Indonesia beserta
banyak Negara lainya telah bersiap mengumumkan masa transisi pandemi ke endemi.
Hal tersebut dapat diartikan bahwa era Pandemi Covid-19 akan segera berakhir.
Berakhirnya Pandemi juga ditandai
dengan maraknya event-event besar yang kembali dihelat oleh Indonesia maupun
Publik Internasional. Sebut saja contohnya adalah ajang multi event Sea Gamse
yang diadakan di Vietnam, Moto GP yang juga dihelat di sirkuit internasional
Mandalika dan yang terakhir juga ajang Formula E yang diadakan di Jakarta
Indonesia. Sejatinya event ini menjadi hal yang penting, jika dimaksudkan
menjadi booster pemicu semangat bagi atlet-atlet Indonesia untuk dapat berlari
mengejar ketertinggalan prestasi dengan Bangsa lain, selain itu pembangunan
sirkuit dan stadion oleh raga untuk mendukung terselenggaranya event tersebut sejatinya
juga dapat menjadi sarana penunjang prestasi para atlet Nasional. Meskipun
faktanya, event akbar tersebut juga kental dengan ajang pamer pencapaian
pembangunan yang justru berbau kampanye politik sebelum musimnya.
Parahnya lagi, aksi pamer pembangunan tersebut ternyata juga mendorong netizen pendukung dan simpatisan tokoh politik tertentu untuk meramaikan ranah sosial media dengan kampanye membanding-bandingkan prestasi tokoh pujaan baik pada keberhasilan event maupun pembangunan infrastruktur pendukungnya, seperti Jakarta Internasional Stadion (JIS) vs Stadion Jatidiri, dan yang terakhir ajang Moto GP dengan Mandalika sirkuitnya Vs Formula E dengan International E-Prix Circuit Ancol yang nyatanya menjadi ajang pamer pencapaian politik yang sringkali menimbulkan rasa ketidaknyamanan baik pada kubu yang berseberangan, maupun pada masyarakat yang hanya menjadi audien. Hal tesebut memantik pertanyaan yang patut muncul yaitu apa untung ruginya aksi pamer pencapaian dengan membandingkan pihak lain dan berpotensi memicu ketidak senangan pada pihak lain atau dengan istilah populernya dikenal dengan flexing (Darmalaksana, 2022).
Beberapa
waktu lalu kita sering disuguhkan aksi flexing kekayaan oleh para crazy rich
yang berujung bui bagi pelakunya karena belakakangan diketahui keterlibatannya
dengan praktik investasi bodong, pencucian uang dan lain sebagainya, dan kini
pemberitaan mengenai pembandingan pencapaian para penguasa seolah membuka mata
kita bahwa flexing juga dapat berlaku dalam dunia pembangunan.
Flexing dan degradasi pemahaman masyarakat
Sejatinya flexing pembangunan muncul dengan tujuan menunjukan besarya pencapaian yang berhasil digapai oleh penguasa, namun seringkali tidak disadari hal itu berpotensi mempersempit cara pandang Masyarakat akan pembangunan. Dari kasus JIS vs jatidiri misalkan, aksi pamer yang hanya mengangkat satu indikator ketercapaian pembangunan berupa keberhasilan membangun infrastruktur stadion yang begitu megahnya yang seolah membuat publik pendukung lupa akan prestasi sepak bola yang tidak berbanding lurus dengan kemegahan stadion yang dibangun.
Contoh lain yang baru saja terjadi adalah event Moto GP dengan Sirkuit Madalikanya Vs Formula E dengan International E-Prix Circuit Ancol yang sama sekali tidak mencerminkan prestasi para pembalap kita yang belum bisa berbicara banyak dalam cabang olah raga balap bergengsi tersebut.
Hal itu menunjukan bahwa Flexing pencapaian pembangunan bisa saja mempersempit pemahaman Masyarakat akan indikator penting suatu pembangunan yang sejatinya perlu dipahami masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi agar dapat turut serta menjadi kontrol dan pendorong maksimalnya manfaat pembangunan, padahal untuk mengukur satu pencapaian pembangunan haruslah disandarkan pada indikator pembangunan yang tidak hanya dilihat dari segi monumental infastrutur sebagai pembangunan fisik saja, namun juga perlu mencapai nilai manfaat yang dapat mendorong peningkatan kualitas masyarakat sebagai bentuk pembangunan sumber daya manusia (SDM).
Secara menyeluruh, sebagai mana disampaikan oleh Iwan
Nugroho dan Rochmin Dahuri dalam bukunya yang berjudul Pembangunan wilayah :
perspektif ekonomi, sosial, dan lingkungan (2004), bahwa sejatinya subtansi ketercapaian
pembangunan itu dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya adalah (1)
aspek sosial (Sosial Capital) yang melingkupi kemanfaatan sosial dan ekonomi
bagi masyarakat, (2) aspek lingkungan (Natural) yang menyangkut kemanfaatan
pelestarian lingkungan, (3) aspek moral dan elektabilitas juga menjadi hal yang terpenting, yang mana pengambilan
keputusan pembangunan perlu dipastikan bersih dari dari beragam upayan kotor
demi suatu kepentingan yang menyekesampingkan perihal norma dan moralitas (moral
hazard). Lebih lanjut
Nugroho dan Rochmin juga menyampaikan bahwa hasil-hasil pembangunan haruslah dapat
dinikmati oleh seluruh masyarakat secara adil melintasi (menembus) batas
ruang (inter-region) dan waktu (inter-generation). Implikasinya
kajian aspek spasial dan fisik saja menjadi kurang relevan tanpa terpenuhinya
unsur-unsur penting di atas.
Dengan maraknya aksi flexing,
salah satu sisi buruknya dapat mendegradasi pemahaman masyarakat akan aspek-aspek
penting yang menjadi indikator keberhasilan pembangunan. Lebih sebagaimana
potensi media masa, aksi flexing yang kemudian diviralkan oleh media tentu akan
berpotensi menggiring opini masyarakat yang dapat beranggapan bahwa
keberhasilan pembangunan hanyalah menyoal hal yang dibanding-bandingkan dan
dipamerkan saja, misalnya hanya kemegahan infrastuktur dan gegap gempitanya
event, padahal belum tentu indikator penting yang menjadi inti dari
keberhasilan pembangunan dapat dicapai oleh pemangku kekuasaan.
Bagitulah jika kita selalu
disuguhkan dengan praktik flexing pembangunan dengan maraknya aksi pembandingan
model Vis a Vis yang kian marak belakangan ini. Lalu, harusnya kita perlu
mempertanyakan, apakah pamer dan saling senggol pencapaian yang begitu
monumental juga diiringi dengan pembangunan sumber daya manusianya dan unsur
penting lainya sebagaimana disebut di atas, bagaimana dengan target pertumbuhan
prestasi dari atlet-atlet kita?, atau justru aksi pamer pencapaian pembangunan
hanya diperuntukan adu gengsi para politikus untuk merebut decak kagum dari
masyarakat akar rumput. Sampailah kita pada satu kesimpulan, bahwa aksi flexing
pencapaian dapat mendegradasi subtansi pembangunan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar Anda